Rabu, 25 Oktober 2017

Makna Hari Raya Galungan dan Kuningan

Makna Hari Raya Galungan dan Kuningan

Hari Raya Galungan dan Kuningan sudah semakin dekat. Galungan yang jatuhnya setiap Budha Kliwon wuku Dunggulan. Dan hari Raya Kuningan, yang jatuh pada Saniscara Kliwon wuku Kuningan 10 hari setelah hari raya Galungan.
Bagaimana makna hari raya Galungan dan Kuningan?


MAKNA Hari Raya Galungan
Hari Raya Galungan dimaknai kemenangan Dharma (Kebaikan) melawan Adharma (Keburukan), dimana pada hari Budha Kliwon wuku Dunggulan kita merayakan dan menghaturkan puja dan puji syukur kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan YME).

Mengenai makna Galungan dalam lontar Sunarigama dijelaskan sebagai berikut:
"Budha Kliwon Dungulan Ngaran Galungan patitis ikang janyana samadhi, galang apadang maryakena sarwa byapaning idep".

Artinya:
Rabu Kliwon Dungulan namanya Galungan, arahkan bersatunya rohani supaya mendapatkan pandangan yang terang untuk melenyapkan segala kekacauan pikiran.

Jadi, inti Galungan adalah menyatukan kekuatan rohani agar mendapat pikiran dan pendirian yang terang. Bersatunya rohani dan pikiran yang terang inilah wujud dharma dalam diri. Sedangkan segala kekacauan pikiran itu (byaparaning idep) adalah wujud adharma. Dari konsepsi lontar Sunarigama inilah didapatkan kesimpulan bahwa hakikat Galungan adalah merayakan menangnya Dharma melawan Adharma.

Parisadha Hindu Dharma menyimpulkan, bahwa upacara Galungan mempunyai arti Pawedalan Jagat atau Oton Gumi. Tidak berarti bahwa Gumi/ Jagad ini lahir pada hari Budha Keliwon Dungulan. Melainkan hari itulah yang ditetapkan agar umat Hindu di Bali menghaturkan maha suksemaning idepnya ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa atas terciptanya dunia serta segala isinya. Pada hari itulah umat bersyukur atas karunia Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang telah berkenan menciptakan segala-galanya di dunia ini.



Sedangkan bagaimana makna hari raya Kuningan…?

MAKNA Hari Raya Kuningan

Hari Raya Kuningan atau sering disebut Tumpek Kuningan jatuh pada hari Sabtu, Kliwon, wuku Kuningan. Pada hari ini umat melakukan pemujaan kepada para Dewa, Pitara untuk memohon keselamatan, kedirgayusan, perlindungan dan tuntunan lahir-bathin. Pada hari ini diyakini para Dewa, Bhatara, diiringi oleh para Pitara turun ke bumi hanya sampai tengah hari saja, sehingga pelaksanaan upacara dan persembahyangan Hari Kuningan hanya sampai tengah hari saja. 

Sesajen untuk Hari Kuningan yang dihaturkan di palinggih utama yaitu tebog, canang meraka, pasucian, canang burat wangi. Di palinggih yang lebih kecil yaitu nasi selangi, canang meraka, pasucian, dan canang burat wangi. Di kamar suci (tempat membuat sesajen/paruman) menghaturkan pengambeyan, dapetan berisi nasi kuning, lauk pauk dan daging bebek. Di palinggih semua bangunan (pelangkiran) diisi gantung-gantungan, tamiang, dan kolem. Untuk setiap rumah tangga membuat dapetan, berisi sesayut prayascita luwih nasi kuning dengan lauk daging bebek (atau ayam). Tebog berisi nasi kuning, lauk-pauk ikan laut, telur dadar, dan wayang-wayangan dari bahan pepaya (atau timun). Tebog tersebut memaki dasar taledan yang berisi ketupat nasi 2 buah, sampiannya disebut kepet-kepetan. Jika tidak bisa membuat tebog, bisa diganti dengan piring.

Sesayut Prayascita Luwih : dasarnya kulit sesayut, berisi tulung agung (alasnya berupa tamas) atasnya seperti cili. Bagian tengahnya diisi nasi, lauk-pauk, di atasnya diisi tumpeng yang ditancapkan bunga teratai putih, kelilingi dengan nasi kecil-kecil sebanyak 11 buah, tulung kecil 11 buah, peras kecil, pesucian, panyeneng, ketupat kukur 11 buah, ketupat gelatik, 11 tulung kecil, kewangen 11 pasucian, panyeneng, buah kelapa gading yang muda (bungkak), lis bebuu, sampian nagasari, canang burat wangi berisi aneka kue dan buah. Sesajen ini dapat juga dipakai untuk sesajen Odalan, Dewa Yadnya, Resi Yadnya dan Manusa Yadnya.



Beberapa perlengkapan Hari Kuningan yang khas yaitu: Endongan sebagai simbol persembahan kepada Hyang Widhi Wasa. Tamyang sebagai simbol penolak malabahaya. Kolem sebagai simbol tempat peristirahatan Hyang Widhi, para Dewa dan leluhur kita.
Pada hari Rabu, Kliwon, wuku Pahang, disebut dengan hari Pegat Wakan yang merupakan hari terakhir dari semua rangkaian Hari Raya Galungan-Kuningan. Sesajen yang dihaturkan pada hari ini yaitu sesayut Dirgayusa, panyeneng, tatebus kehadapan Tuhan Yang Maha Esa. 

Dengan demikian berakhirlah semua rangkaian hari raya Galungan-Kuningan selama 42 hari, terhitung sejak hari Sugimanek Jawa.

Jadi inti dari makna Hari Raya Kuningan adalah memohon keselamatan, kedirgayusan, perlindungan dan tuntunan lahir-bathin kepada para Dewa, Bhatara, dan para Pitara.



Demikian makna Perayaan Hari Raya Galungan & Kuningan, semoga bermanfaat bagi semeton sareng sami. Jika semeton membutuhkan perlengkapan upacara untuk Hari Raya Galungan Ngiring Simpang ke Warung Bu Siki. Matur Suksma

Salam








































Makna Hari Raya Sugihan Jawa & Sugihan Bali

Bagaimana Makna Hari Raya Sugihan Jawa & Sugihan Bali…?



Menjelang Hari Raya Galungan, para semeton mungkin pernah mengobrol tentang bagaimana persiapan 
menjelang Hari Raya Galungan dan Kuningan. Mungkin salah satu topik pembicaraan dan pertanyaan yaitu mengenai hari Sugihan. Pertanyaannya sederhana,"Kamu Sugihan apa?" Mungkin diantara para semeton menjawabnya dengan jawaban,"Saya Sugihan Jawa" atau "Saya Sugihan Bali". Diantara pembicaraan tersebut pasti akan mengarah dan menghubung-hubungkannya dengan sejarah, dimana orang yang melangsungkan Sugihan Jawa, "Kone" atau katanya berasal dari Jawa karena kemungkinan leluhurnya dulu berasal dari Jawa atau leluhunya berasal dari Majapahit.

Itu baru Sugihan Jawa, bagi para semeton Hindu yang merayakan Sugihan Bali, mereka akan menjawab bahwa leluhur mereka terdahulu memang "Asli Bali". Karena merasa bahwa clan atau sorohnya berasal dari "Bali Mula" atau "Bali Aga". Terlepas semua cerita di atas, berdasarkan sastra Lontar Sundarigama telah dijelaskan sebagai berikut :

Sugihan Jawa atau Sugihan Jaba adalah sebuah kegiatan rohani dalam rangka menyucikan alam semesta (Bhuana Agung). Sugihan Jawa ini jatuh pada hari Kamis, Wage Sungsang. Menurut lontar Sundarigama dijelaskan bahwa Sugihan Jawa merupakan pesucian dewa semua bhatara. Pelaksanaan upacara ini dengan membersihkan alam lingkungan, baik pura, tempat tinggal, dan peralatan upacara di masing-masing tempat suci.

Sedangkan, Sugihan Bali jatuh pada hari Jumat Kliwon wuku Sungsang (sehari setelah Sugihan Jawa). Menurut lontar Sundarigama, Sugihan Bali berarti menyucikan diri sendiri jasmani-rohani masing-masing/mikrocosmos (Bhuana Alit) yaitu dengan memohon tirta pembersihan/penglukatan.

Jadi dapat disimpulkan mengenai Sugihan Jawa dan Sugihan Bali hendaknya tidak ada yang melaksanakan hanya salah satunya saja. Karena sudah dijelaskan diatas akan makna penting dari sugihan sugihan tersebut. Jadi alangkah baiknya untuk melaksanakan kedua sugihan tersebut agar kita terlepas dari godaan dalam menyambut Hari Raya Galungan dan Kuningan nanti.

Selamat Hari Raya Sugihan Jawa & Sugihan Bali..


Jumat, 21 April 2017

Dupa sebagai perlengkapan Upacara Umat Hindu

Dupa sebagai perlengkapan Upacara Umat Hindu



Seperti kita ketahui dupa merupakan salah satu jenis hio dibakar yang menghasilkan asap serta mengeluarkan bau harum, Wangi dupa bersama nyala apinya merupakan perlambang Dewa Agni yang berfungsi:

1. selaku saksi upacara yang sedang dilakukan
2. selaku pendeta pemimpin upacara
3. perantara suci yang menghubungkan antara pemuja dan yang dipuja (manusia dengan Tuhan)
4. selaku pembasmi berbagai kekotoran serta pengusir roh jahat



Api memiliki peranan yang bernilai dalam upacara-upacara keagamaan Hindu. Setiap upacara akan dimulai dari menyalakan api, baik api yang ada dalam sendiri, maupun api dalam arti biasa. Api tidak hanya dipakai selaku persembahan, namun sifat-sifat yang dimilikinya menjadikan api memiliki peranan penting. Panas api meresap kesegala penjuru baik udara, air, tanah, tumbuh-tumbuhan maupun mahkluk hidup yang lainnya. Begitu pula asapnya bisa terangkat ke angkasa mengeluarkan sinar yang putih berkilauan, ke segala penjuru mata angin.

Sifat-sifat tersebut menyebabkan api dipergunakan sebagai alat perantara antara bumi bersama langit, manusia beserta Tuhan, antara ciptaan Tuhan dan selaku pembawa persembahan. Cahayanya memancar ke segala penjuru mata angin mengakibatkan api dipergunakan untuk menerangi disetiap kegelapan. Nyalanya yang berkobar-kobar sejatinya akan membakar segala hal yang dilemparkan kedalamnya hingga dipercaya menjadi pembasmi penderitaan, malapetaka dan noda. Api dengan sebutan Dewa Agni merupakan Dewa atau sinar suci Tuhan yang selalu dekat, hal ini bisa dilihat nyata oleh manusia hingga api dipercaya menjadi saksi dalam kehidupan. Api yang dinyalakan di rumah tangga hingga disebut Grhapati berarti pimpinan atau raja dalam rumah tangga.



Tertulis dalam Reg Weda serta Sama Weda api mempunyai peranan:

• Api (Agni) merupakan Dewa pengusir Raksasa serta membakar habis semua mala dan dijadikannya suci. (Regweda VII 15 : 10)

• Api merupakan penghantar upacara, penghubung manusia kepada Brahman. (Regweda X, 80 : 4)

• Hanya Agni (api) pimpinan upacara Yajna yang sejati menurut Weda. (Regweda VIII 15 : 2)

Ada tiga bentuk api yang dipergunakan dalam upacara keagamaan Hindu:

1. Dupa, merupakan api dengan nyala serta asap yang kecil tetapi jelas. Tergolong dalam ini merupakan asap maupun sejenisnya. Biasanya dicampur bersama wangi-wangian hingga memberikan aroma yang bisa memberikan ketenangan dalam pikiran.

2. Dipa, merupakan api bersama nyalanya yang memancarkan cahaya atau sinar yang terang benderang. Contohnya api dari lampu, lilin serta sejenisnya. Listrik pun merupakan salah satu Dipa.

3. Obor, merupakan api bersama nyalanya yang besar berkobar-kobar yang termasuk jenis ini merupakan obor dari perapak (daun kelapa tua),tombrog (obor dari bambu) dan sebagainnya.



Berikut mantra dalam mensucikan dupa yang ditujukan kepada Dewa Brahma sebelum dipergunakan baik untuk sembahyang ataupun sebagai sarana upacara yadnya :
Om Am dupa dipàstra ya nama swàha
artinya: Ya, Tuhanku dalam wujud Brahma tajamkanlah nyala dupa hamba ini
sehingga tersucikanlah sudah hamba seperti sinar-Mu.

Dupa atau hio atau kemenyan adalah sebuah material yang mengeluarkan bau. Dupa mengeluarkan asap ketika dibakar. Banyak upacara keagamaan menggunakan dupa. Dupa juga digunakan untuk pengobatan. Dupa ada dalam berbagai bentuk dan proses, namun, dupa dapat terbagi menjadi "pembakaran langsung" dan "pembakaran tidak langsung" tergantung bagaimana dupa digunakan. Suatu bentuk tergantung dari budaya, tradisi dan rasa seseorang.

Jika butuh segala jenis perlengkapan upacara Umat Hindu, salah satunya Dupa, kami menyediakan dalam berbagai jenis & bentuk, mulai dari yang kecil, sedang & besar kami tersedia.

Ayo Kunjungi "WARUNG BU SIKI"
Jl. Nangka Selatan No.104 Denpasar Bali
Ibu Nengah Sikiati (0817550001)
http:https://warungbusiki.blogspot.co.id/


 





Rabu, 19 April 2017

Makna dan Fungsi-fungsi Pelangkiran

MAKNA & FUNGSI PELANGKIRAN MENURUT HINDU

Di dalam Agama Hindu Khususnya di Bali sering kita mendengar kata "pelangkiran". Pelangkiran berasal dari kata “langkir” artinya tempat memuja. Pelangkiran merupakan niyasa yang bersifat umum dan tergantung dari letaknya serta tujuan pemuja untuk menstanakan Bhatara / Dewa siapa yang ingin dipuja.







Fungsi Pelangkiran

Pelangkiran mempunyai banyak fungsi sesuati dengan kondisi dan tempatnya. Yaitu sebagai berikut:

Untuk anak yang baru lahir sampai diupacarai 3 bulan, maka dibuatkan pelangkiran dari ulatan lidi/ ibus yang dinamakan berbentuk bulat, digantungkan di atas tempat tidur bayi. Itu adalah stana Sanghyang Kumara, putra Bhatara Siwa yang ditugasi ngemban para bayi.
Setelah upacara 3 bulanan sampai terus dewasa – tua, pelangkiran diganti dengan bentuk yang dipakukan ke tembok. Ini pelinggih Kanda-Pat (bukan Hyang Kumara lagi)
Di dapur, stana untuk Bhatara Brahma
Sumur/jeding/kran air, untuk Bhatara Wisnu
Di pasar tempat berjualan, untuk Bhatari Dewa Ayu Melanting
Di Warung / Toko / Tempat Usaha, stana untuk Bhatara Sri Sedana sebagai pemberi kemakmuran kepada setiap umat manusia.
Di kantor, untuk Bhagawan Panyarikan atau Dewi Saraswati.
Beberapa hal penting yang perlu kita ketahui tentang pelangkiran yaitu:




Dalam penempatan pelangkiran di dalam rumah yang tidak boleh dilupakan ialah diperlukan ada pelangkiran di setiap kamar tidur (bagian kepala) untuk linggih ‘kanda-pat’,sedangkan untuk stana Sanghyang Kumara bagi bayi yang belum upacara 3 bulan, pelangkiran dari anyaman bambu. Dan pelangkiran juga di dapur untuk linggih Bhatara Brahma dan Bhatara Wisnu, ditempatkan ‘pulu’ berisi beras segenggam. Di pelangkiran itu perlu diisi ‘pejati’, yakni banten tegteg, daksina, peras, ajuman.

Setiap purnama pejati ini diganti dengan yang baru. Setiap hari ‘ngejot’ atau maturan di pelangkiran-pelangkiran itu dengan canang sari berisi masakan hari itu, cukup dengan sesontengan memakai bahasa biasa saja, tidak usah pakai mantram.Tirta untuk mebanten ‘saiban’ itu minta di geria-geria, yaitu tirta pelukatan. Tirta itu bisa disimpan untuk keperluan sebulan atau lebih.
Saat tilem yang dihatukarn adalah  pejati (tegteg daksidna peras ajuman) sama seperti purnama tapi di bawah pelakiran diisikan segehan nasi manca warna
Jika ingin melinggihkan patung Dewa Siwa di pelangkiran kamar menurut Bhagawan Dwija boleh boleh saja akan tetapi  terlalu berlebihan, karena Dewa Siwa adalah niyasa Tuhan (Sang Hyang Widhi Wasa) mestinya distanakan di lingkungan yang lebih sakral/suci. Bukan di pelangkiran kamar tidur yang mungkin digunakan untuk hal-hal khusus.

Jika merantau dan ingin tetap selalu memuja Ida Sang Hyang Widhi letakkanlah pelangkiran diruangan khusus yang tidak dipergunakan untuk tidur. Karena seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya di kamar tidur untuk stana Kanda Pat.
Apakah merupakan keharusan meletakkan pelangkiran di dalam kamar? mungkin itu akan menjadi salah satu pertanyaan dari semeton. Dalam lontar “Aji Maya Sandhi” disebutkan ketika manusia sedang tidur maka Kanda Pat itu keluar dari tubuh manusia dan bergentayangan, ada yang duduk di dada, di perut, di tangan dsb. sehingga mengganggu tidur manusia; oleh karena itu perlu dibuatkan pelangkiran untuk stananya agar mereka dapat melaksanakan tugas sebagai “penunggu urip“.



Jadi tentunya dengan meletakkan pelangkiran di dalam kamar, maka niscaya dalam tidur akan terasa lebih nyenyak karena sudah ada yang menjaga dari segala bentuk gangguan roh jahat.

Semoga artikel ini dapat bermanfaat untuk semeton. Jika ada penjelasan yang kurang lengkap atau kurang tepat. Mohon dikoreksi bersama. Suksma…

Jika semeton membutuhkan sanggah Pelangkiran dengan berbagai motif dan jenisnya, silahkan semeton mampir ke “WARUNG BU SIKI” di Jalan Nangka Selatan No.104 Denpasar Bali
Atau Hubungi Bu Nengah Sikiati (0817550001)
Matur Suksma…

Kamis, 06 April 2017

Banten sebagai simbul Upacara dalam Agama Hindu

BANTEN SEBAGAI SIMBUL
DALAM AGAMA HINDU



Agama Hindu sangat kaya dengan berbagai simbol, penampilannya sangat indah dan menarik hati setiap orang untuk melihatnya. Bagi umat Hindu simbol-simbol tersebut menggetarkan kalbu dan berusaha untuk memahami makna yang terkandung di balik simbol-simbol tersebut, setiap aktivitas keagamaan tidak terlepas dari simbol-simbol. Simbol-simbol tersebut merupakan media bagi umat Hindu untuk mendekatkan diri dengan Sang Pencipta, mengadakan dialog dengan Yang Maha Kuasa dan memohon perlindungan dan wara nugraha-Nya.

Salah satu simbol dalam agama Hindu adalah menggunakan Banten dalam berbagai ritual upacara. Banten dalam agama Hindu adalah bahasa agama. Ajaran suci Veda sabda Tuhan Yang Maha Esa disampaikan kepada umat dengan berbagai bahasa. Bahasa Veda itu disampaikan juga dalam bahasa Mona. Mona artinya diam namun banyak menyampaikan informasi tentang kebenaran Veda, bahasa Mona itu adalah Banten. Banten dalam Lontar Yajnā Prakṛti memiliki tiga arti sebagai simbol ritual yang sakral. Dalam lontar tersebut banten disebutkan:

Sahananing Bebanten Pinaka Raganta Tuwi, Pinaka Warna Rūpaning Ida Baṭṭāra, Pinaka Aṇḍa Bhuvāna.

Dalam lontar ini ada tiga hal yang dibahasakan dalam wujud lambang oleh Banten yaitu Pinaka Raganta Tuwi artinya lambang dirimu atau lambang diri kita, Pinaka Warna Rūpaning Ida Baṭṭāra artinya lambang kemahakuasaan Tuhan dan Pinaka Aṇḍa Bhuvāna artinya lambang alam semesta (Bhuvāna Agung).

Yang pertama banten lambang diri kita. Banten ini banyak jenisnya misalnya Banten Tataban Alit yaitu Banten Peras, Penyeneng, Tulung dan Sesayut. Banten ini mengandung beberapa konseo hidup yang bersifat universal, misalnya:

Banten Peras, banten ini lambang perjuangan dan doa untuk mencapai sukses dalam hidup kita. Saya yakin di dunia ini tidak ada manusia normal yang tidak ingin sukses dalam hidupnya. Lalu apa yang harus kita lakukan sebagai syarat minimal agar kita sukses dalam hidup ini. Dalam banten Peras ini digambarkan sesuai dengan Tattva agama Hindu yang tercantum di dalam kitab Veda dan sastranya. Di dalam lontar disebutkan: Peras Ngarania Prasida Tri Guna Śakti, artinya Peras namanya adalah sukses (Prasida) dengan kuatnya (Śakti) Tri Guna. Tri Guna itu adalah Sattwam, Rajas dan Tamas. Kalau ketiga guna ini berada pada struktur yang benar maka ia menjadi kekuatan yang luar biasa untuk membawa orang pada sukses dalam hidupnya. Struktur yang ideal dari Tri Guna  ini apabila struktur tersebut didominasi oleh Guṇa Sattwam. Guṇa Sattwam menguasai Guṇa Rajah dan Tamah. Dalam banten Peras Guṇa Sattwam disimbolkan dengan benang, Guṇa Rajas dilambangkan oleh uang dan Guṇa Tamas dilambangkan oleh beras. Ketiga unsur itu ada pada banten Peras.


Penyeneng, adalah suatu jenis banten yang berbentuk Sampian dengan tiga kojongnya. Banten penyeneng ini melambangkan konsep hidup yang seimbang, dinamis dan produktif. Konsep hidup yang ideal adalah harus berupaya untuk menciptakan sesuatu yang patut diciptakan, memelihara sesuatu yang patut dipelihara dan meniadakan sesuatu yang patut ditiadakan. Ada beberapa jenis penyeneng dengan berbagai variasinya sesuai dengan kreativitas seseorang, namun dalam penyeneng itu ada hal yang versifat esensial dan substantif. Yang esensial dan substantif ada tiga makna yang disimbolkan oleh Banten Penyenen itu adalah adanya tepung tawar yaitu suatu banten yang dibuat dari tepung beras, kunir dan daun dadap. Tepung tawar ini adalah lambang dari keseimbangan hidup. Hidup yang seimbang adalah hidup yang memperhatikan adanya hukum rwa bhineda, kecuali Sang Hyang Widhi Wasa tidak ada yang tidak kena hukum ini. Ada siang ada malam, ada senang ada sedih, ada lahir ada batin, ada sosial ada individu dan seterusnya. Hidup yang seimbang adalah hidup yang selalu mengupayakan adanya keseimbangan lahir batin, material spiritual, individual dengan sosial dan seterusnya. Daun dapdap dalam Lontar Taru Premāṇa disebut Taru Śakti. Śakti artinya kuat, kekuatan yang paling baik adalah keseimbangan itu sendiri. Undur Bīja dalam banten penyeneng itu lambang bibit sumber kreativitas. Dalam Penyeneng juga digunakan Nasi Segau yang artinya sebagai suatu kekuatan yang harus ditumbuhkan dandimohonkan kepada Sang Hyang Widhi Wasa agar kita dapat menghilangkan sesuatu yang patut dan wajib dihilangkan. Meskipun wujud Banten Penyeneng itu sangat lokal Bali namun makna yang dimuat sangat universal. Memang hidup yang ideal adalah hidup yang penuh dengan kreativitas untuk mencipta, memelihara dan meniadakan yang patut ditiadakan. Pengertian ini dapat kita tarik dari Pūjā Pengantar Banten Penyeneng yang berbunyi Oṁ Kaki Penyeneng Nini Panyeneng Kajenengan Dening Brahmā Viṣṇu Īśvara yang artinya Kaki dan Nini Penyeneng itu tiada lain Hyang Widhi sebagai puruṣa dan Pradhāna sumber terjadinya kehidupan. Penyeneng artinya pemberi kehidupan, kata Nyeneng dalam bahasa Bali artinya Hidup.

Banten Tulung adalah suatu banten dengan tiga kojong juga berisi nasi dengan lauk pauk dan rerasmen. Umat umumnya terutama kaum wanita sangat terampil membuatnya namun yang penting disini adalah makna dari banten tulung tersebut. Dalam bahasa Bali kata “tulung” berarti tolong menolong. Manusia disamping sebagai makhluk individu jga berdimensi sebagai makhluk sosial. Salah satu ciri manusia sebagai makhluk sosial adalah memiliki kemampuan berkerja sama dengan sesamanya untuk mencapai tujuan bersama. Dengan saling tolong menolong itulah mereka akan hidup lebih sejahtera.

Banten sesayut, berasal dari kata Āyu. Kata Āyu ini berasal dari bahasa Sansekerta artinya hidup yang baik. Kata Āyu ini sudah mewarga ke bahasa Jawa Kuna dan Bahasa Bali. Dalam bahasa Bali kata Āyu inilah yang menjadi kata rahayu yang artinya selamat. Sesayut mendapat awalan Dwipūrwa menjadi sesayut artinya keselamatan atau kesejahteraan. Jenis banten sesayut ini ratusan jumlahnya dan bermacam-macam namanya. Ada sesayut Pūrṇa Suka, Tulus Dadi, Tulus Āyu, Sida Pūrna, Pamiak Kala Lara Melaradan dan lain-lain. Namun ada hal yang sama di sini yaitu dasar sesayut yang disebut tatakan sesayut yang wujudnya bulat dibuat dari daun kelapa yang sudah hijau. Bentuk bulat itu dibuat dengan daun kelapa itu dibuat “maiseh” tahap demi tahap sampai membentuk bulatan. Bentuk sesayut yang inilah melambangkan bahwa perjuangan untuk mencapai hidup yang sejahtera yang disebut Āyu ini tidak bisa dilakukan dengan ambisi tergesa-gesa. Perjuangan hidup itu harus dilakukan dengan bertahap seperti kulit sesauttersebut yang bentuknya bulat bertahap. Keselamatan hidup di dunia ini harus dicapai melalui perjuangan hidup yang bertahap.

Demikianlah arti dan makna dari beberapa jenis Banten yang membentuk banten Tataban Alit. Semua bentuk Banten ini memang sangat lokal tradisional. Namun nilai-nilai yang dikemas oleh bentuk lokal tradisional itu adalah nilai-nilai hidup universal global.

Sumber :
Dikutip dari buku makna upacara yajna dalam agama Hindu oleh I Ketut Wiana

Rabu, 22 Maret 2017

Makna Ngembak Geni sehari setelah Hari Raya Nyepi

Dalam setiap upacara yang dilakukan terkandung berbagai tujuan yang hendak dicapai. Apalagi upacara yang dimaksud bertema dan mengandung pesan keagamaan. Upacara Ngembak Geni yang kerap dilakukan oleh masyarakat Hindu Bali digelar untuk bersembahyang dan memanjatkan doa kepada Sanghyang Widhi Wasa supaya diberikan kemudahan dan kebaikan sehingga bisa kembali menjadi manusia yang baru.




Ditinjau dari etimologi, Ngembak berasal dari bahasa setempat yang memiliki makna “bebas” dan Geni artinya ialah api. Sehingga “Ngembak Geni” bermakna bebas dalam menyalakan api. Dalam artian yang lebih luasnya, Ngembak Geni berarti terbebas dan dipersilakan kembali untuk melakukan berbagai macam aktifitas seperti sedia kala. Hal ini dimaksudkan karena ketika Upacara Nyepi dilakukan seluruh aktifitas masyarakat Hindu dihentikan dan baru diperbolehkan untuk aktifitas kembali setelah hari raya besar itu selesai.





Beberapa aktifitas yang tidak diperbolehkan ketika Hari Raya Nyepi seperti sebagai berikut;
–  Amati Karya, artinya bahwa tidak boleh melakukan aktifitas jasmani, sebaliknya diwajibkan hanya melakukan kegiatan rohani seperti bersembahyang.
–  Amati Geni, tidak boleh menyalakan api serta tidak mengobarkan hawa nafsu.
–  Amati Lelungaan, tidak boleh bepergian melainkan harus senantiasa melakukan mawas diri.
–  Amati Lelanguan, tidak boleh mengobarkan kesenangan melainkan melakukan pemusatan fikiran hanya terfokus kepada Sanghyang Widhi Wasa.








Nah, selepas menjalankan Nyepi, keesokan harinya Hindu Bali mengadakan Ngembak Geni. Dan setelah selesai, maka akan dilakukan Dharma Santi atau bersilaturahim saling memaafkan, di lingkungan keluarga, teman, saahabat. Selepas itu, baru diperbolehkan untuk melakukan aktifitas kembali. Ngembak Geni merupakan salah satu tahapan dalam pelaksanaan hari raya Nyepi,  adapun tahapan tersebut sebagai berikut :
–  Tahap pertama Melasti, yaitu membuang mala dalam upaya mensucikan Bhuwana Agung dan Bhuwana Alit.
–  Tahap kedua Tawur, yaitu caru yang bertujuan mengharmoniskan Tri Hita Karana.
–  Tahap ketiga Sipeng, yaitu menggelar tapa-berata-yoga-samadi.
–  Tahap keempat Ngembak Geni, yaitu mengakhiri tapa-berata-yoga-samadi, dan ber Dharma Santi dalam bentuk saling berkunjung dan saling memaafkan.
–  Tahap kelima adalah nunas tirta amertha pada Purnama Kadasa, di saat mana Ida Sanghyang Widhi memberkati dunia dan isinya agar sejahtera menghadapi tahun yang akan datang.


Selamat Hari Raya Nyepi & Ngembak Geni

  


Selasa, 21 Maret 2017

Makna Ogoh-ogoh dalam perayaan Nyepi

Ogoh-ogoh adalah karya seni patung dalam kebudayaan Bali yang menggambarkan kepribadian Bhuta Kala. Dalam ajaran Hindu Dharma, Bhuta Kala merepresentasikan kekuatan (Bhu) alam semesta dan waktu (Kala) yang tak terukur dan tak terbantahkan.



1. Awal Mula Munculnya Ogoh-Ogoh
Banyaknya versi yang beredar di masyarakat Bali yang menjelaskan tentang awal mula munculnya ogoh-ogoh. Agak sulit sebetulnya menentukan kapan awal mula ogoh-ogoh muncul. Namun, diperkirakan ogoh-ogoh tersebut dikenal sejak jaman Dalem Balingkang. Pada saat itu ogoh-ogoh digunakan pada saat upacara Pitra Yadnya. Pitra Yadnya adalah upacara pemujaan yang ditujukan kepada para pitara dan kepada roh-roh leluhur umat Hindu yang telah meninggal dunia.

Namun ada pendapat lain yang menyebutkan ogoh-ogoh tersebut terinspirasi dari Tradisi Ngusaba Ndong-Nding di Desa Selat Karangasem. Perkiraan lain juga muncul dan menyebutkan barong landung yang merupakan perwujudan dari Raja Jaya Pangus dan Putri Kang Cing Wei (pasangan suami istri yang berwajah buruk dan menyeramkan yang pernah berkuasa di Bali) merupakan cikal-bakal dari munculnya ogoh-ogoh yang kita kenal saat ini. Informasi lain juga menyatakan bahwa ogoh-ogoh itu muncul tahun 70 – 80-an. Ada juga pendapat yang menyatakan ada kemungkinan ogoh-ogoh itu dibuat oleh para pengerajin patung yang telah merasa jenuh membuat patung yang berbahan dasar batu padas, batu atau kayu, namun di sisi lain mereka ingin menunjukan kemampuan mereka dalam mematung, sehingga timbul suatu ide untuk membuat suatu patung dari bahan yang ringan supaya hasilnya nanti bisa diarak dan dipertunjukan.































2. Bentuk Ogoh-Ogoh
Ogoh-ogoh sendiri memiliki peranan sebagai simbol prosesi penetralisiran kekuatan-kekuatan negatif atau kekuatan Bhuta (kekuatan alam). Ogoh-ogoh yang dibuat pada perayaan Nyepi ini merupakan perwujudan Bhuta Kala yakni perwujudan makhluk yang besar dan menyeramkan.
Pada awal mula diciptakannya, ogoh-ogoh dibuat dari rangka kayu dan bambu sederhana. Rangka tersebut dibentuk lalu dibungkus kertas. Pada perkembangan jaman yang maju pesat, ogoh-ogoh pun terimbas dampaknya. Ogoh-ogoh makin berinovasi, dibuat dengan rangka dari besi yang dirangkaikan dengan bambu yang dianyam. Pembungkus badan ogoh-ogoh pun diganti dengan gabus atau stereofoam dengan teknik pengecatan.
Tema ogoh-ogoh pun semakin bervariasi, dari tema pewayangan, modern, porno sampai politik yang tidak mencerminkan makna agama. Tema ogoh-ogoh yang diharapkan adalah sesuai dengan nilai agama Hindu yaitu tidak terlepas dari Tuhan, Manusia dan Buta Kala sebagai penyeimbang hubugan ketiganya.

Ogoh-ogoh simbol Kala ini haruslah sesuai dengan sastra agama yang diatur dalam pakem. Tapi dari sudut pandang lain mengatakan ogoh-ogoh itu merupakan kreativitas anak muda yang mengeksploitasi bentuk gejala alam dan fenomena sosial yang terjadi di masyarakat saat ini jadi tidak perlu adanya pembatasan ataupun pengekangan dalam berekspresi.






























3. Makna Yang Terkandung Dalam Pawai Ogoh-Ogoh
Ogoh-ogoh merupakan cerminan sifat-sifat negatif pada diri manusia. Tradisi ini mengingatkan masyarakat Bali khususnya. Selain itu, ogoh-ogoh diarak keliling desa bertujuan agar kekuatan negatif yang ada di sekitar desa agar ikut bersama ogoh-ogoh. Ritual meminum arak bagi orang yang mengarak ogoh-ogoh di anggap sebagai perwakilan dari sifat buruk yang ada di dalam diri manusia. Beban dari berat yang mereka gendong adalah sebuah sifat negatif, seperti cerminan sifat-sifat raksasa, ketika manusia menyadari hal ini.

Akhir pengarakan ogoh-ogoh, masyarakat akan membakar figur raksasa ini, boleh jadi dikatakan membakar (membiarkan terbakar habis) sifat-sifat yang seperti si raksasa. Ketika semua beban akan sifat-sifat negatif yang selama ini mengambil (memboroskan) begitu banyak energi kehidupan seseorang, maka seseorang akan siap memulai sebuah saat yang baru. Ketika segalanya menjadi hening, masyarakat diajak untuk siap memasuki dan memaknai Nyepi dengan sebuah daya hidup yang sepenuhnya baru dan berharap menemukan makna kehidupan yang sesungguhnya bagi dirinya dan segenap semesta.






























4. Definisi Ogoh-Ogoh
Jika dilihat dari aspek tertentu ogoh-ogoh memiliki beberapa definisi. Bagi orang awam ogoh–ogoh adalah boneka raksasa yang diarak keliling desa pada saat menjelang malam sebelum hari raya Nyepi (Pengrupukan) yang diiringi dengan gamelan Bali yang disebut Baleganjur , kemudian untuk dibakar. Menurut Wilkipedia bahasa Indonesia, “Ogoh-ogoh adalah seni patung dalam kebudayaan Bali yang menggambarkan kepribadian Bhuta Khala.”

Para cendekiawan Hindu mengambil kesimpulan bahwa proses perayaan ogoh-ogoh melambangkan keinsyafan manusia akan kekuatan alam semesta, dan waktu yang maha dahsyat. Kekuatan itu dapat dibagi dua, pertama kekuatan Bhuana Agung, yang artinya kekuatan alam raya, dan kedua adalah kekuatan Bhuana Alit yang berarti kekuatan dalam diri manusia. Kedua kekuatan ini dapat digunakan untuk menghancurkan atau membuat dunia bertambah indah.
upacara Panca Kelud, di tingkat kecamatan dilakukan Upacara Caru Panca Sanak, di tingkat desa dilakukan upacara Caru Panca Sata, dan di tingkat banjar dilakukan upacara Caru Eka Sata.

Sedangkan di masing-masing rumah tangga, upacara dilakukan di natar merajan (sanggah). Di situ umat menghaturkan segehan Panca Warna 9 tanding, segehan nasi sasah 100 tanding. Sedangkan di pintu masuk halaman rumah, dipancangkanlah sanggah cucuk dan di situ umat menghaturkan banten daksina, ajuman, peras, dandanan, tumpeng ketan sesayut, penyeneng, jangan-jangan serta perlengkapannya. Pada sanggah cucuk digantungkan ketipat kelan (ketupat 6 buah), sujang berisi arak tuak. Di bawah sanggah cucuk umat menghaturkan segehan agung asoroh, segehan manca warna 9 tanding dengan olahan ayam burumbun dan tetabuhan arak, berem, tuak dan air tawar. Setelah usai menghaturkan pecaruan, semua anggota keluarga, kecuali yang belum tanggal gigi atau semasih bayi, melakukan upacara byakala prayascita dan natab sesayut pamyakala lara malaradan di halaman rumah.


Upacara Bhuta Yadnya di tingkat provinsi, kabupaten dan kecamatan, dilaksanakan pada tengah hari sekitar pukul 11.00 – 12.00 (kala tepet). Sedangkan di tingkat desa, banjar dan rumah tangga dilaksanakan pada saat sandhyakala (sore hari). Upacara di tingkat rumah tangga, yaitu melakukan upacara mecaru. Setelah mecaru dilanjutkan dengan ngrupuk pada saat sandhyakala, lalu mengelilingi rumah membawa obor, menaburkan nasi tawur. Sedangkan untuk di tingkat desa dan banjar, umat mengelilingi wilayah desa atau banjar tiga kali dengan membawa obor dan alat bunyi-bunyian. Sejak tahun 1980-an, umat mengusung ogoh-ogoh yaitu patung raksasa. Ogoh-ogoh yang dibiayai dengan uang iuran warga itu kemudian dibakar. Pembakaran ogoh-ogoh ini merupakan lambang nyomia atau menetralisir Bhuta Kala, yaitu unsur-unsur kekuatan jahat.










































Jika semeton butuh ogoh-ogoh mini untuk mainan anak-anak silahkan mampir ke Warung Bu Siki, Jl.Nangka Selatan No.104 Denpasar Bali
Bu Nengah Sikiati, 0817550001

Matur Suksma