Ogoh-ogoh adalah karya seni patung dalam
kebudayaan Bali yang menggambarkan kepribadian Bhuta Kala. Dalam ajaran Hindu
Dharma, Bhuta Kala merepresentasikan kekuatan (Bhu) alam semesta dan waktu
(Kala) yang tak terukur dan tak terbantahkan.
1. Awal Mula Munculnya Ogoh-Ogoh
Banyaknya versi yang beredar di masyarakat Bali yang menjelaskan
tentang awal mula munculnya ogoh-ogoh. Agak sulit sebetulnya menentukan kapan
awal mula ogoh-ogoh muncul. Namun, diperkirakan ogoh-ogoh tersebut dikenal
sejak jaman Dalem Balingkang. Pada saat itu ogoh-ogoh digunakan pada saat
upacara Pitra Yadnya. Pitra Yadnya adalah upacara pemujaan yang ditujukan
kepada para pitara dan kepada roh-roh leluhur umat Hindu yang telah meninggal
dunia.
Namun ada pendapat lain yang menyebutkan ogoh-ogoh tersebut terinspirasi
dari Tradisi Ngusaba Ndong-Nding di Desa Selat Karangasem. Perkiraan lain juga
muncul dan menyebutkan barong landung yang merupakan perwujudan dari Raja Jaya
Pangus dan Putri Kang Cing Wei (pasangan suami istri yang berwajah buruk dan
menyeramkan yang pernah berkuasa di Bali) merupakan cikal-bakal dari munculnya
ogoh-ogoh yang kita kenal saat ini. Informasi lain juga menyatakan bahwa
ogoh-ogoh itu muncul tahun 70 – 80-an. Ada juga pendapat yang menyatakan ada
kemungkinan ogoh-ogoh itu dibuat oleh para pengerajin patung yang telah merasa
jenuh membuat patung yang berbahan dasar batu padas, batu atau kayu, namun di
sisi lain mereka ingin menunjukan kemampuan mereka dalam mematung, sehingga
timbul suatu ide untuk membuat suatu patung dari bahan yang ringan supaya
hasilnya nanti bisa diarak dan dipertunjukan.
2. Bentuk Ogoh-Ogoh
Ogoh-ogoh sendiri memiliki peranan sebagai simbol prosesi
penetralisiran kekuatan-kekuatan negatif atau kekuatan Bhuta (kekuatan alam).
Ogoh-ogoh yang dibuat pada perayaan Nyepi ini merupakan perwujudan Bhuta Kala
yakni perwujudan makhluk yang besar dan menyeramkan.
Pada awal mula diciptakannya, ogoh-ogoh dibuat dari rangka kayu
dan bambu sederhana. Rangka tersebut dibentuk lalu dibungkus kertas. Pada
perkembangan jaman yang maju pesat, ogoh-ogoh pun terimbas dampaknya. Ogoh-ogoh
makin berinovasi, dibuat dengan rangka dari besi yang dirangkaikan dengan bambu
yang dianyam. Pembungkus badan ogoh-ogoh pun diganti dengan gabus atau
stereofoam dengan teknik pengecatan.
Tema ogoh-ogoh pun semakin bervariasi, dari tema pewayangan,
modern, porno sampai politik yang tidak mencerminkan makna agama. Tema
ogoh-ogoh yang diharapkan adalah sesuai dengan nilai agama Hindu yaitu tidak
terlepas dari Tuhan, Manusia dan Buta Kala sebagai penyeimbang hubugan
ketiganya.
Ogoh-ogoh simbol Kala ini haruslah sesuai dengan sastra agama yang
diatur dalam pakem. Tapi dari sudut pandang lain mengatakan ogoh-ogoh itu
merupakan kreativitas anak muda yang mengeksploitasi bentuk gejala alam dan
fenomena sosial yang terjadi di masyarakat saat ini jadi tidak perlu adanya
pembatasan ataupun pengekangan dalam berekspresi.
3. Makna Yang Terkandung Dalam Pawai Ogoh-Ogoh
Ogoh-ogoh merupakan cerminan sifat-sifat negatif pada diri
manusia. Tradisi ini mengingatkan masyarakat Bali khususnya. Selain itu,
ogoh-ogoh diarak keliling desa bertujuan agar kekuatan negatif yang ada di
sekitar desa agar ikut bersama ogoh-ogoh. Ritual meminum arak bagi orang yang
mengarak ogoh-ogoh di anggap sebagai perwakilan dari sifat buruk yang ada di
dalam diri manusia. Beban dari berat yang mereka gendong adalah sebuah sifat
negatif, seperti cerminan sifat-sifat raksasa, ketika manusia menyadari hal
ini.
Akhir pengarakan ogoh-ogoh, masyarakat akan membakar figur raksasa
ini, boleh jadi dikatakan membakar (membiarkan terbakar habis) sifat-sifat yang
seperti si raksasa. Ketika semua beban akan sifat-sifat negatif yang selama ini
mengambil (memboroskan) begitu banyak energi kehidupan seseorang, maka
seseorang akan siap memulai sebuah saat yang baru. Ketika segalanya menjadi
hening, masyarakat diajak untuk siap memasuki dan memaknai Nyepi dengan sebuah
daya hidup yang sepenuhnya baru dan berharap menemukan makna kehidupan yang
sesungguhnya bagi dirinya dan segenap semesta.
4. Definisi Ogoh-Ogoh
Jika dilihat dari aspek tertentu ogoh-ogoh memiliki beberapa
definisi. Bagi orang awam ogoh–ogoh adalah boneka raksasa yang diarak keliling
desa pada saat menjelang malam sebelum hari raya Nyepi (Pengrupukan) yang
diiringi dengan gamelan Bali yang disebut Baleganjur , kemudian untuk dibakar.
Menurut Wilkipedia bahasa Indonesia, “Ogoh-ogoh adalah seni patung dalam
kebudayaan Bali yang menggambarkan kepribadian Bhuta Khala.”
Para cendekiawan Hindu mengambil kesimpulan bahwa proses perayaan
ogoh-ogoh melambangkan keinsyafan manusia akan kekuatan alam semesta, dan waktu
yang maha dahsyat. Kekuatan itu dapat dibagi dua, pertama kekuatan Bhuana
Agung, yang artinya kekuatan alam raya, dan kedua adalah kekuatan Bhuana Alit
yang berarti kekuatan dalam diri manusia. Kedua kekuatan ini dapat digunakan
untuk menghancurkan atau membuat dunia bertambah indah.
upacara Panca Kelud, di tingkat kecamatan dilakukan Upacara Caru
Panca Sanak, di tingkat desa dilakukan upacara Caru Panca Sata, dan di tingkat
banjar dilakukan upacara Caru Eka Sata.
Sedangkan di masing-masing rumah tangga, upacara dilakukan di
natar merajan (sanggah). Di situ umat menghaturkan segehan Panca Warna 9
tanding, segehan nasi sasah 100 tanding. Sedangkan di pintu masuk halaman
rumah, dipancangkanlah sanggah cucuk dan di situ umat menghaturkan banten
daksina, ajuman, peras, dandanan, tumpeng ketan sesayut, penyeneng,
jangan-jangan serta perlengkapannya. Pada sanggah cucuk digantungkan ketipat
kelan (ketupat 6 buah), sujang berisi arak tuak. Di bawah sanggah cucuk umat
menghaturkan segehan agung asoroh, segehan manca warna 9 tanding dengan olahan
ayam burumbun dan tetabuhan arak, berem, tuak dan air tawar. Setelah usai
menghaturkan pecaruan, semua anggota keluarga, kecuali yang belum tanggal gigi
atau semasih bayi, melakukan upacara byakala prayascita dan natab sesayut
pamyakala lara malaradan di halaman rumah.
Upacara Bhuta Yadnya di tingkat provinsi, kabupaten dan kecamatan,
dilaksanakan pada tengah hari sekitar pukul 11.00 – 12.00 (kala tepet).
Sedangkan di tingkat desa, banjar dan rumah tangga dilaksanakan pada saat
sandhyakala (sore hari). Upacara di tingkat rumah tangga, yaitu melakukan
upacara mecaru. Setelah mecaru dilanjutkan dengan ngrupuk pada saat
sandhyakala, lalu mengelilingi rumah membawa obor, menaburkan nasi tawur.
Sedangkan untuk di tingkat desa dan banjar, umat mengelilingi wilayah desa atau
banjar tiga kali dengan membawa obor dan alat bunyi-bunyian. Sejak tahun
1980-an, umat mengusung ogoh-ogoh yaitu patung raksasa. Ogoh-ogoh yang dibiayai
dengan uang iuran warga itu kemudian dibakar. Pembakaran ogoh-ogoh ini
merupakan lambang nyomia atau menetralisir Bhuta Kala, yaitu unsur-unsur
kekuatan jahat.
Jika semeton butuh ogoh-ogoh mini untuk mainan anak-anak silahkan mampir ke Warung Bu Siki, Jl.Nangka Selatan No.104 Denpasar Bali
Bu Nengah Sikiati, 0817550001
Matur Suksma
Tidak ada komentar:
Posting Komentar