Selasa, 21 Maret 2017

Makna Ogoh-ogoh dalam perayaan Nyepi

Ogoh-ogoh adalah karya seni patung dalam kebudayaan Bali yang menggambarkan kepribadian Bhuta Kala. Dalam ajaran Hindu Dharma, Bhuta Kala merepresentasikan kekuatan (Bhu) alam semesta dan waktu (Kala) yang tak terukur dan tak terbantahkan.



1. Awal Mula Munculnya Ogoh-Ogoh
Banyaknya versi yang beredar di masyarakat Bali yang menjelaskan tentang awal mula munculnya ogoh-ogoh. Agak sulit sebetulnya menentukan kapan awal mula ogoh-ogoh muncul. Namun, diperkirakan ogoh-ogoh tersebut dikenal sejak jaman Dalem Balingkang. Pada saat itu ogoh-ogoh digunakan pada saat upacara Pitra Yadnya. Pitra Yadnya adalah upacara pemujaan yang ditujukan kepada para pitara dan kepada roh-roh leluhur umat Hindu yang telah meninggal dunia.

Namun ada pendapat lain yang menyebutkan ogoh-ogoh tersebut terinspirasi dari Tradisi Ngusaba Ndong-Nding di Desa Selat Karangasem. Perkiraan lain juga muncul dan menyebutkan barong landung yang merupakan perwujudan dari Raja Jaya Pangus dan Putri Kang Cing Wei (pasangan suami istri yang berwajah buruk dan menyeramkan yang pernah berkuasa di Bali) merupakan cikal-bakal dari munculnya ogoh-ogoh yang kita kenal saat ini. Informasi lain juga menyatakan bahwa ogoh-ogoh itu muncul tahun 70 – 80-an. Ada juga pendapat yang menyatakan ada kemungkinan ogoh-ogoh itu dibuat oleh para pengerajin patung yang telah merasa jenuh membuat patung yang berbahan dasar batu padas, batu atau kayu, namun di sisi lain mereka ingin menunjukan kemampuan mereka dalam mematung, sehingga timbul suatu ide untuk membuat suatu patung dari bahan yang ringan supaya hasilnya nanti bisa diarak dan dipertunjukan.































2. Bentuk Ogoh-Ogoh
Ogoh-ogoh sendiri memiliki peranan sebagai simbol prosesi penetralisiran kekuatan-kekuatan negatif atau kekuatan Bhuta (kekuatan alam). Ogoh-ogoh yang dibuat pada perayaan Nyepi ini merupakan perwujudan Bhuta Kala yakni perwujudan makhluk yang besar dan menyeramkan.
Pada awal mula diciptakannya, ogoh-ogoh dibuat dari rangka kayu dan bambu sederhana. Rangka tersebut dibentuk lalu dibungkus kertas. Pada perkembangan jaman yang maju pesat, ogoh-ogoh pun terimbas dampaknya. Ogoh-ogoh makin berinovasi, dibuat dengan rangka dari besi yang dirangkaikan dengan bambu yang dianyam. Pembungkus badan ogoh-ogoh pun diganti dengan gabus atau stereofoam dengan teknik pengecatan.
Tema ogoh-ogoh pun semakin bervariasi, dari tema pewayangan, modern, porno sampai politik yang tidak mencerminkan makna agama. Tema ogoh-ogoh yang diharapkan adalah sesuai dengan nilai agama Hindu yaitu tidak terlepas dari Tuhan, Manusia dan Buta Kala sebagai penyeimbang hubugan ketiganya.

Ogoh-ogoh simbol Kala ini haruslah sesuai dengan sastra agama yang diatur dalam pakem. Tapi dari sudut pandang lain mengatakan ogoh-ogoh itu merupakan kreativitas anak muda yang mengeksploitasi bentuk gejala alam dan fenomena sosial yang terjadi di masyarakat saat ini jadi tidak perlu adanya pembatasan ataupun pengekangan dalam berekspresi.






























3. Makna Yang Terkandung Dalam Pawai Ogoh-Ogoh
Ogoh-ogoh merupakan cerminan sifat-sifat negatif pada diri manusia. Tradisi ini mengingatkan masyarakat Bali khususnya. Selain itu, ogoh-ogoh diarak keliling desa bertujuan agar kekuatan negatif yang ada di sekitar desa agar ikut bersama ogoh-ogoh. Ritual meminum arak bagi orang yang mengarak ogoh-ogoh di anggap sebagai perwakilan dari sifat buruk yang ada di dalam diri manusia. Beban dari berat yang mereka gendong adalah sebuah sifat negatif, seperti cerminan sifat-sifat raksasa, ketika manusia menyadari hal ini.

Akhir pengarakan ogoh-ogoh, masyarakat akan membakar figur raksasa ini, boleh jadi dikatakan membakar (membiarkan terbakar habis) sifat-sifat yang seperti si raksasa. Ketika semua beban akan sifat-sifat negatif yang selama ini mengambil (memboroskan) begitu banyak energi kehidupan seseorang, maka seseorang akan siap memulai sebuah saat yang baru. Ketika segalanya menjadi hening, masyarakat diajak untuk siap memasuki dan memaknai Nyepi dengan sebuah daya hidup yang sepenuhnya baru dan berharap menemukan makna kehidupan yang sesungguhnya bagi dirinya dan segenap semesta.






























4. Definisi Ogoh-Ogoh
Jika dilihat dari aspek tertentu ogoh-ogoh memiliki beberapa definisi. Bagi orang awam ogoh–ogoh adalah boneka raksasa yang diarak keliling desa pada saat menjelang malam sebelum hari raya Nyepi (Pengrupukan) yang diiringi dengan gamelan Bali yang disebut Baleganjur , kemudian untuk dibakar. Menurut Wilkipedia bahasa Indonesia, “Ogoh-ogoh adalah seni patung dalam kebudayaan Bali yang menggambarkan kepribadian Bhuta Khala.”

Para cendekiawan Hindu mengambil kesimpulan bahwa proses perayaan ogoh-ogoh melambangkan keinsyafan manusia akan kekuatan alam semesta, dan waktu yang maha dahsyat. Kekuatan itu dapat dibagi dua, pertama kekuatan Bhuana Agung, yang artinya kekuatan alam raya, dan kedua adalah kekuatan Bhuana Alit yang berarti kekuatan dalam diri manusia. Kedua kekuatan ini dapat digunakan untuk menghancurkan atau membuat dunia bertambah indah.
upacara Panca Kelud, di tingkat kecamatan dilakukan Upacara Caru Panca Sanak, di tingkat desa dilakukan upacara Caru Panca Sata, dan di tingkat banjar dilakukan upacara Caru Eka Sata.

Sedangkan di masing-masing rumah tangga, upacara dilakukan di natar merajan (sanggah). Di situ umat menghaturkan segehan Panca Warna 9 tanding, segehan nasi sasah 100 tanding. Sedangkan di pintu masuk halaman rumah, dipancangkanlah sanggah cucuk dan di situ umat menghaturkan banten daksina, ajuman, peras, dandanan, tumpeng ketan sesayut, penyeneng, jangan-jangan serta perlengkapannya. Pada sanggah cucuk digantungkan ketipat kelan (ketupat 6 buah), sujang berisi arak tuak. Di bawah sanggah cucuk umat menghaturkan segehan agung asoroh, segehan manca warna 9 tanding dengan olahan ayam burumbun dan tetabuhan arak, berem, tuak dan air tawar. Setelah usai menghaturkan pecaruan, semua anggota keluarga, kecuali yang belum tanggal gigi atau semasih bayi, melakukan upacara byakala prayascita dan natab sesayut pamyakala lara malaradan di halaman rumah.


Upacara Bhuta Yadnya di tingkat provinsi, kabupaten dan kecamatan, dilaksanakan pada tengah hari sekitar pukul 11.00 – 12.00 (kala tepet). Sedangkan di tingkat desa, banjar dan rumah tangga dilaksanakan pada saat sandhyakala (sore hari). Upacara di tingkat rumah tangga, yaitu melakukan upacara mecaru. Setelah mecaru dilanjutkan dengan ngrupuk pada saat sandhyakala, lalu mengelilingi rumah membawa obor, menaburkan nasi tawur. Sedangkan untuk di tingkat desa dan banjar, umat mengelilingi wilayah desa atau banjar tiga kali dengan membawa obor dan alat bunyi-bunyian. Sejak tahun 1980-an, umat mengusung ogoh-ogoh yaitu patung raksasa. Ogoh-ogoh yang dibiayai dengan uang iuran warga itu kemudian dibakar. Pembakaran ogoh-ogoh ini merupakan lambang nyomia atau menetralisir Bhuta Kala, yaitu unsur-unsur kekuatan jahat.










































Jika semeton butuh ogoh-ogoh mini untuk mainan anak-anak silahkan mampir ke Warung Bu Siki, Jl.Nangka Selatan No.104 Denpasar Bali
Bu Nengah Sikiati, 0817550001

Matur Suksma

Tidak ada komentar:

Posting Komentar